Monday, March 23, 2015

Setengah Sore Satu Malam di Stadhuisplein

kota tua jakarta
Museum Sejarah Jakarta

Balai kota 'Stadhuis' demikianlah namanya saat itu, sudah menjadi tempat favorit anak-anak muda kota Batavia untuk berkumpul setiap sore menjelang malam minggu.

Saat itu para noni Belanda akan memakai gaun terbaik mereka. Gaun panjang mengembang di bagian bawah serta korset ketat untuk menonjolkan bagian pinggul mereka. Sebagian dari mereka akan mengelar tikar, minum teh sambil menikmati roti bluder atau roti ganjel rel manis gula aren. 

Anak gadis dengan topi lebar warna-warni mengowes onthel mengelilingi stadhuisplein. Yang pemuda akan berlari mengejar di belakang. Sedangkan orangtua mereka akan memperhatikan mereka dari jendela restoran sambil membahas nilai saham perkebunan dengan para tuan tanah.

Di tengah-tengah lapangan tersebut terdapat sebuah air mancur yang merupakan sumber air warga setempat. Sekelompok anak kecil bermain gobag-sodor di sana. Permainan akan berakhir saat orang tua mereka memanggil mereka untuk makan malam.

Demikianlah suasana Stadhuisplein saat itu setiap malam minggu menurut cerita nenek-nenek.
kota tua jakarta
(c)UncleSeronok.blogspot.com






Saat ini balai kota 'stadhuis' telah berubah menjadi museum sejarah Jakarta. Lapangan di depannya berganti nama menjadi Taman Fatahilah. Ada banyak hal yang sudah berubah. Bangunan bersejarah tinggal sepotong-sepotong. Namun  ada yang tetap sama. Lokasi ini tetap menjadi tempat kumpul favorit anak muda Jakarta. Terutama saat malam minggu, Taman Fatahilah berubah bak pasar malam 24 jam. 

Terpesona oleh cerita suasana stadhuis pada jaman penjajahan dulu, saya sengaja meluangkan waktu setengah sore satu malam untuk bergadang di Stadhuisplein.

Dari Bandung saya tiba di Stasiun Kota sekitar jam dua siang. Cuaca saat itu sedang bersahabat. Tidak terlalu panas. Sesekali terasa ada hembusan angin hangat. Tidak ada tanda-tanda akan hujan sehingga sempurna untuk bergadang.

Dari stasiun kota Beos cukup jalan kaki lurus ke depan menelusuri jalan Lada, bangunan di sebelah kiri adalah sudut Museum Jakarta. Jaraknya cukup dekat. Saking dekatnya sampai Uut Pertamasari terpanggil untuk mempopulerkan lagu dangdut , "cukup lima langkah." 
"Fatahilah memang dekat lima langkah dari Beos.Tak perlu naik ojek, bajaj juga ngak usah. "
Dibandingkan dengan alun-alun Bandung, Taman Fatahillah terkesan lebih lengkap karena keempat sudut dikepung oleh bangunan bersejarah. Kalau ambil patokan dari Museum Sejarah Jakarta, di depannya ada bangunan kuno kantor pos dan Cafe Batavia. Dari sebelah kanan ada Museum keramik. Sebelah kiri ada museum wayang. Di belakang ada Museum bank Indonesia dan Museum Bank Mandiri.

Hebatnya lagi, semua museum tersebut dekat-dekat. Tetanggaan pula.  Cukup lima langkah, kata Uut Permatasari juga.
kota tua jakarta





Karena tiba di Taman Fatahilah sudah sore, saya cuma sempat mengunjungi dua museum. Pilihan pertama, Museum Sejarah Jakarta. Tiket Rp 5000 per orang. Dapat sepasang sandal jepit cantik, pakai tas dari bahan ramah lingkungan. Gratis pula. Tapi sayang, saat mau keluar sandalnya diminta lagi sama petugasnya.

Arsitektur bangunan museum bergaya barok klasik dari abad ke-17, memiliki 3 lantai dengan ciri khas kusen dan jendela dari kayu jati dengan warna dominan hijau tua.
Alur menjelajah museum dimulai dari lantai satu yang kebanyakan berisi replika-replika prasasti, replika perahu,maket gedung dan berbagai perkakas lainnya.

Lantai dua berisi perabot rumah tangga seperti lemari, meja makan, dan kursi yang dipakai saat jaman penjajahan Belanda. Kalau sudah berada di sini, jangan lupa untuk cek bagian atap utama gedung. Ada petunjuk arah mata angin. Lantai ke tiga ditutup untuk umum.

Museum pilihan ke dua adalah Museum Bank Mandiri. Museum keramik dan Museum wayang tutup jam 3 sore, sedangkan Museum Bank Mandiri tutup jam 4 sore. Jadi masih ada waktu sekitar sejam kurang untuk menjelajah isi museum. Tiket juga Rp 5000. Tapi kali ini tidak dipinjami sandal.

Koleksi museum terdiri dari berbagai peralatan operasional perbankan jaman dulu.  Ada brankas, mesin hitung uang, mesin cetak, surat berharga, mata uang dan alat press bendel. Dari yang berukuran kecil sampai yang berukuran raksasa. 
 
Menurut saya semua koleksi museum Bank Mandiri tersebut ajaib-ajaib semua. Ajaib, karena sulit untuk membayangkan orang perbankan pernah menggunakan  peralatan kuno seperti itu. Pasti sengsara sekali dibandingkan dengan saat ini.
kota tua jakarta
Bergadang di Stadhuis van Batavia
Kata Mbok Ueneh, "Sagalana aya di dieu." Dan dia ngak bohong.

Menjelang magrib, rombongan demi rombongan manusia mulai memadati Taman Fatahilah. Yang sudah bekeluarga bawa anak isteri, yang muda gandeng pacar, yang jomblo datang berkelompok. PKL dorong dagangan, seniman jalanan siap dengan  berbagai alat perlengkapan. Semua tanpa kecuali ingin menikmati malam panjang di sini.
 
Bukan cuma ada manusia, makhluk astral seperti kuntilanak, dracula, zombie china juga bergentayangan di sini.  Selain itu banyak maskot karakter TV kartun mendadak kejar tayang di taman Fatahilah.

Ada Naruto dengan rambut seperti tanduk. Ada Marsha tanpa ditemani Sang Beruang. Ada Upin dan Ipin yang kemana-mana selalu berdua. Ada juga tele-tubbies yang mengajak berpelukan. Dan tentu saja ada Ondel-Ondel yang gemuk-gemuk.

Ada satu persamaan makhluk astral dengan para karakter kartun. Semua bawa ember kecil berisi lembaran uang seribuan dan recehan logam. Rupanya mereka sedang mencari penghasilan tambahan.

Ini adalah saatnya para seniman jalanan beradu kreatif mencari rupiah. Banyak yang berdandan ala lady gaga. Jinjing kotak karoake dan joget-joget banci. Banyak juga yang tampil apa adanya. Alat musik sederhana dan suara juga apa adanya saja. 

Tapi ada juga yang  tampil kreatif seperti Pak Usman dari daerah Angke. Pak Usman, duda anak dua, tampil memikat dengan boneka marionette seram yang lincah berjoget dangdut.  Gerakannya lucu dan banyak mengundang tawa anak-anak yang menonton.

Atau seperti Anisa, mahasiswi salah satu perguruan tinggi swasta ini dandan jadi kuntilanak dan  gentayangan di atas meriam. Sesekali dia tampak menimbang boneka dan tetiba terdengar suara jeritan suara bayi menangis pilu. Aksi tersebut memancing jeritan tertahan dari sebagian penonton perempuan.

Takut tapi tak membuat urung sebagian penonton mengajak kuntilanak berphoto. Tentu dengan tarif serelanya.
Malam itu ada kegiatan dzikir massal dan massa terkonsentrasi di depan pintu utama gedung Museum Sejarah Jakarta. Acara dzikir dipimpin oleh dua orang yang berpakaian seperti Arab, berbicara seperti orang Arab, bahkan saat memasuki mimbar juga seperti orang Arab. Dua orang yang kearab-araban bergiliran memimpin acara tersebut sampai sekitar jam 10 malam.
Membosankan? Tentu tidak!

Banyak hal yang bisa dilakukan. Makan malam di cafe Batavia bisa jadi pilihan sambil nenikmati suasana malam. Atau coba icip-icip street food yang bertebaran di sana. Kerak telur, nasi uduk, nasi pecal, jagung bakar, takoyaki, es potong atau bandrek. Semua  disajikan ala lesehan.

Sebenarnya tadi sore saya sudah keliling naik onthel, tapi saya ingin memperoleh suasana yang berbeda pada saat malam maka saya kembali menelusuri jalan kecil menuju kali besar. Tujuan saya adalah jembatan kota intan. Tapi kali ini dengan jalan kaki.

Firasat saya benar.  Jembatan Kota Intan saat sore hari tidak menarik sekali. Jelek. Tidak ada yang istimewah. Kali di bawahnya hitam aroma sampah. Tapi saat malam, gelap menyembunyikan sisi jeleknya, lampu sorot mempertegas fitur jembatan dan ketika dipoto hasilnya jadi luar biasa. Seketika Jembatan Kota Intan jadi berbeda sama sekali.
kota tua jakarta




kota tua jakarta
Saat kembali ke Taman Fatahilah,  malam sudah semakin larut. Acara dzikir massal sudah selesai. Orang seperti Arab sudah tidak tampak. Hanya ada beberapa orang tampak sedang membereskan bekas mimbar.

Sebagian orang sudah pulang ke rumah masing-masing. Sepertinya ini saatnya saya juga harus pulang ke Bandung juga. Tapi, tunggu dulu. Memang banyak orang yang bergegas pulang. Tapi sekelompok kecil orang juga masih tetap berdatangan.

Kalau tadi massa terkonsentrasi di depan pintu utama Museum Sejarah Jakarta. Kini massa terpecah menjadi tiga kelompok besar. Satu di samping bekas mimbar acara dzikir massal. Satu lagi ada di depan Museum Wayang dan satunya lagi terpusat di depan Museum Keramik.

Rupanya malam belum berakhir di Taman Fatahilah. Atau baru saja dimulai bagi sebagian orang yang menunggu acara konser musik oleh tiga kelompok band berbeda.

Dan baru benar-benar berakhir saat jam menunjukan pukul 03.30. Dengan demikian bisa dikatakan saya menghabiskan setengah sore satu malam atau 14 jam di stadhuisplein bersama semangat dari jaman Batavia yang tetap mengelora sampai sekarang.

Suatu pengalaman bergadang yang cukup berkesan. Satu-satunya yang menjadi ganjalan saya adalah masalah arus bawah. Untuk ukuran Taman Fatahilah tersedianya 2 unit toilet portable cukup menyiksa. Mau kencing harus antri panjang. Sampai ngilu-ngilu nahan kencing.

note : tulisan ini juga dimuat di harian Pikiran Rakyat 22 Maret 20015 http://epaper.pikiran-rakyat.com/node/3326#page/6





Monday, March 16, 2015

Mencolok Lampion di Malam Cap Go Me


Bagi Uncle Seronok kecil, perayaan malam Cap Go Meh cuma ada dua hal. Pertama mencolok lampu lampion dengan batang bambu.
Seminggu sebelum puncak perayaan malam Cap Go Me, setiap rumah akan merentangkan kawat melintang dari ujung ke ujung serambi rumah setinggi dua meter. 

Di sanalah koleksi lampion keluarga digantung satu per satu. Kegiatan tersebut dilakukan sama hikmatnya seperti saat orang Nasrani menghias pohon cemara pada malam menjelang Natal. 

Kebanyakan lampion itu adalah buatan tangan dari kertas halus warna-warni. Bentuk beragam jenis. Naga, kelinci, babi, tikus atau tergantung shio tahun tersebut. Sebagian besar adalah lampion berbentuk klasik ala Tiongkok berasal dari Malaysia dan Singapore. 
Dan tentu saja, diantara semua lampion itu harus ada lampion keluarga. Lampion keluarga biasanya yang paling cantik dan selalu menempati posisi terbaik. Digantung mengarah ke depan pintu masuk sehingga orang yang keluar masuk rumah bisa mengaguminya. Lampion yang lain digantung di sebelah kiri dan kanan lampion keluarga.

Saat itu lampion masih pakai lilin. Berada di daerah pesisir, angin tak jarang membuat barisan lampion bergoyang-goyang liar yang pada akhirnya membuat api menjilat salah satu lampion.


"Lampion kebakaran. Lampion kebakaran."

Itulah saat yang ditunggu oleh Uncle Seronok kecil bersama pasukan cilik berbambu.  Tanpa perlu dikomando, mereka akan berebut mencolok lampion itu sampai jatuh ke bawah. 

Untuk menciptakan momen seru mencolok lampion. Angin pantai tidak selalu bisa diandalkan. Tak jarang setelah lelah berkeliling dari satu rumah ke rumah lain, tapi angin tak kunjung menjadi penyebab lampion terbakar.

Maka Uncle Seronok kecil dan pasukannya lalu mengambil inisiatif membuat angin buatan sendiri. Dengan bambu di tangan, salah satu mereka akan menotol-notol bentangan kawat secara perlahan. Jika beruntung salah satu lampion atau lebih akan menjadi korban.




Malam cap Go Me bagi Uncle Seronok kecil cuma ada dua hal. Pertama mencolok lampion terbakar. Saat itu tidak ada tontonan parade barangsai atau liong naga. Parade seperti itu sangat Pe Ka Ih. Hal kedua adalah ajang cari jodoh.

Menurut kebiasaan seorang gadis yang sudah akil balig akan mencari jodoh dengan melempar jeruk ke arah sang pemuda yang disukai. Jika bersambut sang pemuda akan memunggut jeruk dan mengantar sang gadis pulang ke rumah. Dari perkenalan tersebut akan berujung perkawinan. Itu juga kalau memang mereka berjodoh.

Jika gadis-gadis umumnya demi menjaga kesopanan ketimuran akan mengelindingkan jeruk ke arah sang pemuda seperti mengelindingkan bola boling. Maka ada satu gadis, berbekal jeruk berkantung-kantung menimpuk sekuat tenaga ke pemuda yang paling dibencinya.

Dalam kehidupan sehari-hari, pemuda itu selalu mengganggunya. Karena malam Cap Go Me, sang pemuda tidak boleh membalas perbuatan si gadis. Itulah kesempatan yang sudah lama ditunggu-tunggu oleh gadis itu.

Gadis itu di masa depan kemudian menjadi Ibu si Uncle Seronok. Sedangkan pemuda malang yang membiarkan badannya sakit ditimpukin jeruk, mulai dari buahnya masih utuh sampai menjadi jus jeruk adalah ayahnya.
Berwindu-windu kemudian, sambil duduk melamun di persimpangan jalan Sudirman, Uncle Seronok tersenyum sendiri. Teringat saat dia kepergok sengaja membuat lampion terbakar. Kemudian lari terbirit-birit sambil memegang ujung celana kedodoran.

Tak lama kemudian dia terhenyak dari lamunan. Ada seseorang menimpuk sesuatu ke pundaknya. Jeruk? Bukan. Ternyata tepukan dari polisi. Rombongan parade budaya mau lewat dan Uncle Seronok menghalangi jalan.

Friday, March 13, 2015

Uncle Seronok on Tulisan Perjalanan

Kota Tua Jakarta
"Simpan tulisan perjalanan terbaik Anda untuk dikirim ke redaksi, setelahnya baru posting di blog".
Pagi ini untuk pertama kalinya, Uncle Seronok mengirimkan tulisan perjalanan ke redaksi koran PR.  Semua berkat dorongan Ibu guru Bunga alias Rosi Meilani.

Terus terang Uncle Seronok kurang sreg dengan tulisannya sendiri. Genre tulisan 'how to get there', 'what to do' dan  'tipsy gaya lonely planet' benar-benar membuat Uncle Seronok mati gaya. Tapi gaya tulisan seperti inilah yang banyak dicari oleh media.
kota tua jakarta
museum sejarah Jakarta saat sore


Saat sedang mengadakan suatu perjalanan, pengalaman unik yang Uncle Seronok cari. Pengalaman yang membuat Uncle  Seronok tersipu-sipu malu ketika mengingatnya kembali. Atau merasa menyesal karena tidak melakukannya.

Kalau harus menulis, pengalaman seperti inilah jugalah yang ingin Uncle Seronok ceritakan kembali. Bukan menginap di hotel mewah apa. Makan apa.  Pergi kemana. Melakukan apa. Bobo sama siapa.
kota tua jakarta
Jembatan kota intan saat malam

Uncle Seronok ingin menulis misalnya,  pengalaman pertama kali BAB di semak-semak Gunung Papandayan sambil diam-diam berteriak dalam hati, "Yeah, akhirnya bisa keluar."

Sruk...sruk...gali tanahnya. Buk! Buk!..Kalau sudah selesai ditimbun lagi pakai tanah. BAB gaya kucing.

Atau cuma bercawat saja saat kemping dekat Hutan Mati karena kehujanan. Atau hampir menangis ketakutan saat tersesat di Gunung Burangrang.

Atau pengalaman ngilu-ngilu menahan kencing saat begadang di Taman Fatahillah dan dipeluk gembel saat tidur di emperan bangunan  kantor pos.

Atau menonton boneka marionett serem konser dangdut sambil ditemani  Kuntilanak.
konser dangdut oleh marionett seram
penampakan kuntilanak di depan museum sejarah Jakarta
Atau pengalaman ketemu seorang eksibishionis yang mengaruk-ngaruk kelamin secara vulgar di dalam Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta.

Cerita seperti ini sepertinya akan ditolak mentah-mentah oleh redaksi mana pun juga.

Jadi walaupun sudah mengirim tulisan perjalanan ke redaksi PR pagi ini, Uncle rasa tidak akan diterima.

note:
Uncle Seronok tidak benci atau anti tulisan perjalanan gaya 'how to' ya? Bahkan ada beberapa orang yang tulisan perjalanannya selalu Uncle Seronok ikuti, misalnya : ada Catur yang sangat rajin menulis pengalamannya di gunung, ada cewek hijab dengan blognya muslim traveler girl. Tentu saja ada Ibu guru Bunga dan Kang Rudy yang jarang nulis.