Tuesday, May 10, 2016

Gunung Kunci Sumedang : Oh Seram!

gunung kunci

Gunung Kunci Sumedang : Oh, Seram! Yeah...Ngak lah. Saya tidak tahu kenapa orang mengaitkan cerita mistis dengan benteng yang ada di Gunung Kunci ini. Kisah pohon bergoyang. Suara derap langkah dalam gua dan penampakan nan oh-seram.

Gunung kunci ( 503 mdpl ) terletak di sebelah utara alun-alun Sumedang, di antara perlintasan jalan raya Bandung -  Cirebon. Kalau dari Bandung, setelah mencapai alun-alun Sumedang, belok kiri menuju Cimalaka. Dari bundaran cuma berjarak sekitar 200 meter. Posisi Gunung Kunci ada di sebelah kanan jalan.  
gunung kunci
Gunung Pandjoenan dengan 2 kunci menyilang

 Asal Usul Nama Gunung Kunci

Disebut Gunung Kunci mungkin karena ada simbol dua kunci saling menyilang di atas mulut gua. Sedangkan nama Pandjoenan  merujuk pada kampung Panjunan yang berada di situ. Penyebutan gunung sebenarnya juga kurang tepat. Tapi orang Sunda terbiasa menyebut gunung untuk dua arti yang berbeda. Gunung bisa berarti bukit atau gunung dalam pengertian gunung sesungguhnya.

Ada yang mengatakan asal usul penamaan Gunung Kunci karena di sekitar  lokasi tersebut banyak terdapat tumbuhan Baros Kunci yang bisa dijadikan lalap. Kalau begitu kenapa simbol kunci tersebut tidak diganti dengan tumbuhan itu saja? Kata yang lain beralasan.

Dibangun sekitar tahun 1914-1917 dengan luas  bangunan benteng  +/- 2.600 meter persegi dan luas bungker sekitar  450 meter. Benteng Gunung Kunci ini berfungsi  sebagai benteng pertahanan, sekaligus sebagai tempat pengawasan terhadap Arie Soeria Atmadja ( bupati Sumedang saa itu ) karena dianggap berbahaya. Jadi kemungkinan disebut Gunung Kunci karena benteng tersebut adalah kunci pembuka segala sesuatu yang berhubungan dengan Sumedang pada saat itu.
gunung kunci sumedang
terdiri dari 3 lantai : lantai perajurit di lantai dasar, lantai perwira dan lantai paling atas berfungsi sebagai benteng pertahanan dengan meriam mengarah ke pusat kota Sumedang
gunung kunci sumedang
seperti benteng Belanda lainnya, benteng ini sebelum ditinggalkan, sengaja dirusak  dan diurug tanah sehingga menutupi hampir seluruh bangunan benteng. Tindakan ini dimaksud agar benteng ini tidak bisa dipergunakan oleh pihak tentara Jepang
Berada tepat di pinggir jalan raya menuju Cirebon, benteng Gunung Kunci jauh dari kesan seram seperti yang diceritakan orang. Malahan saat berada di sana, Kamis, 05 Mei kemarin, saya memperoleh kesan tempat ini merupakan tempat wana wisata keluarga yang cukup menyenangkan.

Sejuk, teduh, hijau dan nyaman adalah kesan saya saat menapaki tangga setapak menuju gua. Sebelah kiri ada wahana taman bermain keluarga. Sederhana. Berfungsi namun tidak terawat.

Lantai satu berupa lorong-lorong gelap yang saling terhubung dengan beberapa ruangan dengan luas bervariasi. Gelap. Lembab. Ada aroma tak sedap dan asing yang menyerang indera penciuman. Ada bunyi rembesan air menetes.

Dan dalam usaha saya menjelajah isi banguan lantai satu saya bertemu sebuah sumur yang dibatasi dengan kawat berduri. Sumur ini konon adalah kuburan massal penduduk setempat yang mati dibunuh. Serem?
gunung kunci
tangga menuju bangunan lantai 2
benteng gunung kunci
tempat  meriam mengarah langsung ke kota Sumedang
pemandangan ke arah jalan menuju Cirebon
Setelah bergelap-gelap menyelusuri lorong bunker yang gelap, beberapa tangga menuntun kita ke areal terbuka. Dari sini, kita bisa menyaksikan kota Sumedang di antara pohon-pohon pinus. Banyak pengunjung memanfaatkan lokasi ini untuk duduk bersantai sambil berphoto.

Jika menyelusuri sisa potongan tembok, kita bisa berkeliling menjelajah seluruh bekas bangunan benteng Gunung Kunci dari sini. Bagian tertinggi dari benteng hampir tidak kelihatan. Bagian ini seluruhnya diurug / ditimbun tanah dan hanya ada pepohonan dan rumpun semak.

Kesimpulannya: Gunung Kunci sumedang, Oh Serem?? Tidak-lah! Entah kalau malam sendirian di sini. Takut...

Monday, May 9, 2016

Situ Cilembang - Danau Biru Sumedang

danau biru sumedang

Situ Cilembang - Danau Biru Sumedang. Penasaran 'kan dengan tempat ini? Benarkah airnya biru? Keren?? Mantap?? Menurut pengalaman, objek wisata yang terlalu diheboh-hebohkan di instagram biasanya tidak sesuai ekspektasi. Apalagi tempat tersebut tergolong masih baru seperti Situ Cilembang.

Salah siapa kalau begitu?

Wajar, menurut saya kalau ada orang  'posting' tempat wisata keren di media sosial sekedar untuk eksis atau pamer. Apalagi yang sedang happening. Saya juga suka melakukannya termasuk posting di blog ini. Yang tidak wajar justru adalah reaksi kita yang terlalu berlebihan.

Curiosity killed the cat, begitu kata orang sana. Rasa penasaran tak jarang membuat kita berharap terlalu tinggi. Kita kemudian membandingkan Situ Cilembang di Sumedang dengan Labuhan Cermin di Kalimantan Timur karena ada blog yang bilang begitu.
situ biru, situ cilembang
situ cilembang, dari sudut ini airnya tosca

Masalahnya, kita sendiri belum pernah mengunjungi kedua tempat tersebut. Lalu bagaimana kita bisa tahu kalau pembandingannya sudah sesuai?  Membanding sebuah apel dengan orange tentu saja akan memperoleh gambaran yang keliru. Bilang Gunung Burangrang sama seperti Gunung Semeru jelas beda kelas.

Kita pun berharap Situ Cilembang sesuai photo yang ada. Tapi, sekali lagi walaupun photo tells a thousand words, photo lies too.

Cara mengetahuinya secara pasti, cuma dengan cara pergi ke Situ Cilembang dan lihat dengan mata kepala sendiri. Benarkah airnya sungguh-sungguh berwarna biru, ngak pakai gimmick atau pewarna? Bisakah kita bercermin di sana sambil bedakkan seperti kata orang?

sumedang, situ cilembang
dipagari tali rafia untuk mencegah orang terjun ke air

Saat berada di lokasi -- airnya benaran warna biru. Ngak pakai bohong. Tapi di bagian terjauh dari Situ Cilembang yang terkena matahari langsung, warnanya bening seperti air biasa. Warna biru yang terlihat mungkin disebabkan oleh pantulan cahaya dan berada di antara rimbun pohon. Secara ilmiah kenapa bisa begitu, saya sendiri tidak bisa menjelaskannya.

situ cilembang, sumedang
Aii....situnya mini amat, seperti kolam renang

Walaupun namanya pakai nama situ -  Situ Cilembang berukuran mini. Luasnya cuma seukuran kolam renang standard national. Tidak butuh waktu lama untuk menggelilingi semua sisi situ saking kecilnya.

Hampir di setiap sudut yang berhubungan langsung dengan air, terdapat pagar yang terbuat dari tali rafia untuk mencegah orang masuk ke air. Cuci muka diperbolehkan. Berenang dilarang. Yang ingin berenang tersedia kolam tersendiri, terpisah di bagian luar kawasan Situ Cilembang. Ada warung dan tempat penyewaan ban pelampung.

Yang perlu dijadikan catatan : kondisi Situ Cilembang saat saya berada di sana --- cukup bersih. Tidak ada bekas sampah non-organik seperti botol minuman, bungkus makan dan sebagainya. Tersedia karung goni untuk sampah dan terdapat sebuah jaring bergagang bambu. alat ini kemungkinan dipakai untuk membersihkan kolam dari dedaunan dan sampah. Sebuah usaha penjagaan kerbersihan yang patut diapresiasi.

Parkir : Rp 3000, tiket masuk berupa sumbangan sukarela, dan harus isi absen pengunjung. Jika membawa kamera dslr harus meninggalkan nomor telepon yang bisa dihubungi. Kalau terjadi sesuatu yang tidak dikendaki gampang dihubungi, jelas petugasnya

Cara menuju Situ Cilembang - Sumedang

situ cilembang
situ cilembang sumedang
Dari Bandung menuju Situ Cilembang rutenya adalah sebagai berikut :
  • Jatinangor - Tanjung Sari - Cadas Pangeran - Sumedang
  • Dari Sumedang ambil patokan bundaran alun-alun Sumedang ( sebelah kiri ada indo-maret ) belok kiri ke arah Cimalaya.
  • Lurus terus sampai lampu merah ketiga akan ketemu terminal Ciakar.
  • Dari terminal ambil arah jalan menuju Cirebon sampai ketemu bundaran tugu air mancur. Belok kiri.
  • Setelah belok kiri, jalan lurus terus sampai ketemu alun-alun Cimalaka. Patokannya adalah patung harimau. Belok kiri
  • Jalan terus sekitar 10 km untuk sampai di Desa Hariang. Setelah ketemu gerbang desa, cari jembatan ( sekitar 400 meter ) dan belok kiri lagi. Tepat di samping jembatan ada papan nama Situ Cilembang.  
  • Sampai deh!

Sunday, May 8, 2016

Lembang Heritage : Dalam Upaya Mencari akar Jayagiri

lembang heritage, jayagiri

Lembang heritage dalam upaya mencari akar Jayagiri. Sebuah warisan sejarah /  heritage tidak harus selalu berupa bangunan kuno peninggalan jaman kolonial yang super megah dan sarat sejarah. Atau wajib memiliki potensi untuk diolah sebagai  objek wisata bernilai ekonomis tinggi. 

Menurut saya, sebuah warisan sejarah bisa berwujud apa saja. Bisa cuma berupa sebuah lempengan nomor rumah dari logam, sebuah kuburan tak terawat dan terjepit di antara padatnya rumah penduduk, sebuah tugu peringatan  sederhana, sebuah photo tua, sepenggal catatan diari, atau cuma berupa untaian cerita samar yang diam-diam masih dikenang oleh beberapa orang dengan penuh perasaan.

Warisan heritage bisa juga tak kasat mata, tak berwujud bangunan fisik atau nir-raga.  Misalnya, semangat untuk mencari sebuah akar. Asal-usul suatu daerah, tempat kita tinggal. Semangat seperti itulah yang meninggalkan kesan mendalam pada diri saya saat mengikuti acara komunitas Lembang Heritage - Jayagiri, Minggu - 01 Mei yang lalu. Semangat seperti ini menurut saya juga sebuah heritage.

jayagiri, lembang hertage
bekas klinik malaria  era tahun 1920-an di kampung Bewak
Ibarat pohon tercabut akarnya, orang yang melupakan sejarah adalah orang yang kehilangan jadi diri.

Lembang Heritage : Mengungkap asal mula Jayagiri

Ada yang tahu di mana tepatnya letak alun-alun Lembang? Kaget ngak, kalau saya bilang pendopo di alun-alun Lembang terbuat dari abu gosok? Bangunan pendopo yang berada tepat di belakang lapangan terbuka alun-alun itu sekarang cuma digunakan untuk berbagai acara seremonial saja.

Tidak seperti umumnya sebuah pendopo yang terbuka, pendopo Lembang lebih mirip bangunan biasa dengan keempat sisinya tertutup dinding dengan jendela-jendela besar. Diperkirakan suhu udara Lembang pada jaman dulu terlalu dingin untuk   memungkinkan sebuah pendopo dibangun terbuka tanpa dinding.
lembang heritage, pendopo
pendopo : saya kira bentuk aslinya tidak seperti ini

Ada yang tahu, sebuah bangunan tak berpenghuni yang tepat berada di samping puskesmas Desa Jayagiri itu dulunya adalah sebuah klinik malaria? Pada jaman dulu, fasilitas klinik cukup sederhana. Bivak digunakan sebagai tenda darurat rawat inap bagi pasien malaria. Saat wabah malaria melanda, diperkirakan halaman klinik penuh dengan bivak-bivak. Mungkin karena begitu banyaknya bivak maka sebuah kampung di sekitar bekas klinik malaria itu sekarang bernama kampung Biwak. Bivak atau biwak?? Pengucapan mana yang benar?  

Bicara soal malaria -- berdosa rasanya kalau sedang berada di Jayagiri tapi tidak mengunjungi Taman Junghuhn.

Dia adalah orang yang secara sadar sengaja memilih jalan setapak yang sepi demi mengejar hasrat dan cintanya terhadap ilmu pengetahuan, gunung, dan hutan yang terdapat di Priangan. Sama halnya dengan jalan hidup yang telah dipilihnya, taman Junghuhn, tempat peristirahatan terakhirnya kini juga sepi pengunjung.

Andai kata lelaki penabur benih kina itu bisa bicara, ingin rasanya saya bertanya. Pernahkah terbersit dalam hati, sedikit saja penyesalan ketika mengetahui bahwa tempat peristirahatan terakhirnya saat ini tidak terawat. Semua hanya karena ada konflik kepemilikan?

Setelah apa yang telah dia lakukan bagi kepentingan umat manusia, tidakkah menurut kamu, lelaki itu pantas mendapat sedikit saja penghargaan mendalam dan rasa hormat dari kita? Karena dia adalah dr. Franz Wilhem Junghuhn, Bapak Kina dunia. Tak seharusnya tempat peristirahatan terakhirnya memperoleh perlakuan seperti itu.
taman junghuhn
makam rekan Junghuhn yang tak kalah malangnya nasib dikau kini

Lembang Heritage :  Masih adakah yang Peduli?

Ketika kepentingan ekonomis menjadi prioritas utama, masih adakah yang peduli dengan akar? Sejarah? Masa lalu? Tiga buah rumah pertama kota Lembang ini terletak di Jayagiri. Bumi Lebak, Bumi Tengah dan Bumi Tonggoh, demikian penduduk sekitar menyebutnya, kini terancam hilang.

Saat berkunjung ke sana bersama komunitas Lembang Heritage, ada plang papan pemberitahuan bahwa rumah / tanah tersebut untuk dijual. Dalam hati, saya sedih. Saya yakin salah satu dari sedikit akar yang tertinggal di tanah Jayagiri, sebentar lagi akan kembali tercabut dari tempatnya. 
rumah pertama di Jayagiri
Namun saat menyadari ada sekelompok orang, seperti komunitas lembang heritage, Tjimahi heitage dan komunitas lain yang berkerja siang malam mengumpulkan kepingan catatan baik dari sumber literatur  tertulis maupun dari perbincangan lisan dengan pelaku sejarah. Saya merasa optimis.

Masih ada harapan.

Saya percaya. Sebuah warisan pusaka / heritage tidak harus selalu berbentuk fisik seperti bangunan megah peninggalan kolonial, serta potential dikembangkan sebagai objek wisata. Sebuah warisan heritage bisa saja nir-raga. Tak berbadan fisik seperti semangat membara untuk mencari akar jati diri.

Lembang heritage dalam upaya mencari akar Jayagiri.
lembang heritage jayagiri
suasana pemakaman Jayagiri
 Disclaimer :
  • Saya menyadari pengetahuan saya serba minimalis -- kesalahan penyebutan nama, tempat, waktu ataupun data yang  ada dalam  tulisan saya yang tidak tepat mohon dikoreksi. Penambahan fakta / update selalu diterima dengan tangan terbuka 
  • Tulisan saya adalah opini saya pribadi semata-mata pada saat tulisan ini dibuat. Saya tidak mewakili etnis / agama dan golongan tertentu dan tidak bermaksud / sengaja untuk menyerang siapa pun.

Tuesday, May 3, 2016

Mencoba Paralayang di Gunung Panten - Majalengka

gunung panten
Mencoba paralayang di Gunung Panten - Majalengka. Minggu, 10 April 2016, bersama tujuh rekan sesama penikmat wisata minat khusus petuangan, bertekad untuk meneruskan rencana mencoba olahraga paralayang. Apapun yang terjadi, rencana yang sudah  selama diatur selama 2 minggu yang lalu harus tetap berjalan. 

Awalnya, kegiatan paralayang ini akan dilakukan di Kampung Toga-Sumedang. Tapi pada derik terakhir, operator penyelenggara membatalkannya karena di lokasi sedang ada perbaikan landasan.

Pilihan kedua. Lokasi yang paling dekat dengan Bandung adalah Bukit Gantole-Cililin yang sedang dipersiapkan untuk acara PON. Sepertinya lokasi ini adalah pilihan yang tepat. Tapi faktor cuaca yang tidak bersahabat dan besarnya resiko menjadi pertimbangan. Pilihan terakhir adalah wana-wisata Gunung Panten yang berlokasi di Majalengka. Lokasi jauh tapi cuaca di sana cukup mendukung.

Menuju Gunung Panten - Majalengka

Dari Bandung kami bergerak menuju lokasi. Sesampainya di pusat kota Majalengka, dengan mengambil patokan Bundaran Munjul, kami berbelok ke arah selatan menuju Desa Sidakmukti. Wana wisata Paralayang Gunung Panten berbagi kepemilikan di antara dua desa bersebelahan.

Lokasi loket tiket sampai patung harimau secara administratif merupakan wilayah kelurahan Munjul. Sedangkan lokasi take-off atau landasan peluncuran paralayang sampai patung harimau adalah wilayah Desa Sidakmukti.

gunung panten

Gunung Panten sangat ramai dikunjungi penduduk setempat terutama pada hari Minggu. Saat tiba di puncak Gunung Panten, tempat parkirnya penuh. Sangat ramai seperti pasar malam. Kebetulan pula ada salah satu dealer sepeda motor terkenal sedang mengadakan promosi dengan membuka panggung dangdut serta atraksi motor gila-gilaan. Acara ini cukup banyak menarik pengunjung mendekati panggung.

Pemandangan dari atas Gunung Panten sangat menakjubkan. Saat melihat ke bawah tebing, pucuk-pucuk pohon terasa berada tepat di ujung jari. Begitu jauh di bawah namun terasa juga begitu dekat. Saya beberapa kali menahan napas saat melihat ke bawah. Pemandangan dari ketinggian selalu menimbulkan sensasi aneh. Ada rasa takut dan kagum bercampur jadi satu. 

paralayang

Di Puncak Gunung Panten

Berbatasan dengan dengan deretan pohon, ada hamparan berkotak-kotak sawah yang saling potong memotong, silang menyilang. Hasilnya adalah sebuah mosaik sawah berbentuk pola karpet didominasi warna hijau dengan tone warna lain. Ada hijau muda, hijau daun, kuning, orange dan biru membentuk pola abstrak warna yang indah.

Di tengah sawah ada garis putih memanjang meliuk-liuk seperti ular. Beberapa kotak hitam terlihat bergerak di atasnya. Butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa itu adalah jalan raya dan kendaraan yang sedang melaju.

Jalan itu membagi pemandangan antara hamparan pesawahan dengan komplek perumahan yang didominasi genteng rumah berwarna merah bata. Di belakang perumahan tersebut samar-samar terlihat Gunung Ciremai berdiri kokoh di sebelah timur kota.  

gunung panten

Matahari pagi itu terasa hangat dan sedikit berangin. Di sudut kiri paling ujung tebing terlihat sebuah alat pengukur kecepatan angin, anemometer dengan dua mangkok logam berputar-putar. Di sampingnya berdiri tiang alat bantu penunjuk arah angin dengan kantong berwarna merah berkibar-kibar seperti bendera.

Beberapa operator paralayang yang sedang berlatih tampak serius memeperhatikan alat tersebut. Paralayang adalah olahraga terjun bebas dengan parasut tanpa menggunakan mesin. angin menjadi satu-satunya sumber daya angkat.


Sambil menunggu angin, parasut dibentang lebar-lebar di tanah. Tali temali diluruskan supaya tidak saling melilit. Beberapa orang memegang ujung parasut. Saat dapat angin, parasut mengembang sempurna, sambil berlari-lari kita pun meloncat dari tebing. Sebaliknya jika momentumnya kurang tepat, maka harus diulang dari awal.


gunung panten, majalengka


Menunggu Giliran : Paralayang Tandem

" Seperti duduk di sofa," jelas salah satu rekan saya yang sudah pernah mencoba paralayang di lokasi berbeda. "Dengan kipas angin alam bertiup tepat di muka kita," tambahnya sambil tertawa. 

Melihat pemandangan tepat dari ujung kaki membuat saya mengalami berbagai sensasi yang sulit digambarkan dengan kata-kata. Untuk mengetahuinya secara persis, kita harus mencobanya sendiri. 

Catatan kaki : Mencoba Paralayang di Gunung Panten - Majalengka. 

majalengka
  • Paket paralayang tandem : Rp 350,000 / orang per pax. Artinya kalau mau meloncat lagi, bayar lagi.  Kalau pingin coba paket gantole, Rp 450,000 / pax.
  • Tepat di sekitar loket tiket terdapat objek wisata Curug Ci sempong dan konservasi hutan Gunung Panten.
  • Harga paket tersebut adalah harga pada saat saya berada di sana.  
  • Versi ringkas tulisan ini juga dimuat di sriwijaya air inflight magazine edisi : Juni bagian discovery