Nun jauh di
daerah Bandung Selatan, ada sebuah negeri tempat embun beku jatuh sepanjang
hari. Pohon
teh tumbuh subur. Sapi ternak gemuk-gemuk. Dan para petani yang bersahabat
dengan cuaca dingin. Negeri terpencil itu bernama Desa Neglawangi, kecamatan
Kertasari, Pangalengan.
Pagi itu ada sekelompok orang
berkumpul di depan masjid desa melakukan gerakan senam untuk melawan dingin.
Pemanasan dilakukan secara berkelompok terdiri dari 7-10 orang per regu. Mereka adalah pegiat alam, gabungan dari
berbagai komunitas seperti SABUKI, KPGB, JGB, HIKINGROUTE dan BOPALA.
Tertarik dengan
kampanye komunitas Sabuki dengan tagar ‘Save Ciharus’ di media social, saya
bersama sekitar 70 orang terpanggil untuk melakukan misi ‘hiking for a cause’
menuju puncak Gunung Kendang selama dua hari satu malam.
Menuju Puncak Gunung Kendang
Pendakian dimulai dengan meyelusuri
petak-petak perkebunan teh. Selama hampir setengah jam pertama, sejauh mata
memandang hanya ada hijau daun teh. Dan barisan kepala peserta hiking yang
muncul dan menghilang di kejauhan di atas bukit.
Di balik bukit, pemandangan secara bertahap mulai berubah. Barisan pohon teh mulai diselangi oleh gundukan tanah yang ditumbuhi baby-carrot berwarna orange. Semakin jauh berjalan, semakin banyak kebun wortel terlihat. Sesekali terlihat ada bongkol wortel muncul ke permukaan tanah. Agak ke pinggir terdapat deretan sayur bunga kol yang ditanam berbatasan dengan hutan.
Ke dalam hutan, itu tujuan kami. Pos pertama adalah sebidang tanah datar di tengah hutan pohon kayu putih dan pinus. Kami harus mengurangi kecepatan dan menunggu di sana. Karena ada kabar salah satu peserta kram dan dua peserta wanita tersesat di labirin pohon teh. Kami diharuskan menunggu sampai semua peserta lengkap sebelum melanjutkan perjalanan. Kesempatan ini dipakai oleh saya untuk menurunkan beban carrier, sekaligus beristirahat. Sebagian orang menggunakan kesempatan tersebut untuk makan atau mengisi air dari sumber air.
Tantangan berikutnya mulai terasa berat saat menelusuri jalan setapak menuju pos kedua. Jalur penanjakan mulai tidak bersahabat. Kontur tanah bergambut, lembek saat diinjak. Perdu tumbuh setinggi pinggang. Pakis liar serta semak berduri malang melintang menghalangi jalan. Berbagai tumbuhan liar seperti lumut dan Kantung Semar ( Genus Nepenthes ) merambat setinggi kepala. Jalin mejalin bersama berbagai ranting dan dahan sehingga membentuk terowongan.
Di balik bukit, pemandangan secara bertahap mulai berubah. Barisan pohon teh mulai diselangi oleh gundukan tanah yang ditumbuhi baby-carrot berwarna orange. Semakin jauh berjalan, semakin banyak kebun wortel terlihat. Sesekali terlihat ada bongkol wortel muncul ke permukaan tanah. Agak ke pinggir terdapat deretan sayur bunga kol yang ditanam berbatasan dengan hutan.
Ke dalam hutan, itu tujuan kami. Pos pertama adalah sebidang tanah datar di tengah hutan pohon kayu putih dan pinus. Kami harus mengurangi kecepatan dan menunggu di sana. Karena ada kabar salah satu peserta kram dan dua peserta wanita tersesat di labirin pohon teh. Kami diharuskan menunggu sampai semua peserta lengkap sebelum melanjutkan perjalanan. Kesempatan ini dipakai oleh saya untuk menurunkan beban carrier, sekaligus beristirahat. Sebagian orang menggunakan kesempatan tersebut untuk makan atau mengisi air dari sumber air.
Tantangan berikutnya mulai terasa berat saat menelusuri jalan setapak menuju pos kedua. Jalur penanjakan mulai tidak bersahabat. Kontur tanah bergambut, lembek saat diinjak. Perdu tumbuh setinggi pinggang. Pakis liar serta semak berduri malang melintang menghalangi jalan. Berbagai tumbuhan liar seperti lumut dan Kantung Semar ( Genus Nepenthes ) merambat setinggi kepala. Jalin mejalin bersama berbagai ranting dan dahan sehingga membentuk terowongan.
Diperlukan
tenaga ekstra untuk menerobos terowongan semak belukar itu. Jika tangan kanan menyibak ranting, saking
lebatnya ketika dilepas, ranting tersebut akan menampar orang yang berada di
belakang kita. Kesulitan tidak hanya
sampai di situ. Ada onak yang siap merobek kulit. Juga ada serangan gigitan
serangga. Jadi parang dibutuhkan untuk menebas dan membuka jalan.
Salah
satu pelajaran penting yang saya petik dari hiking kali ini adalah pentingnya
untuk memberi tanda. Setiap bertemu tikungan tali raffia merah diikat sebagai
tanda. Selain agar rombongan di belakang bisa mengikuti, juga agar tidak
tersesat saat turun gunung.
Jika
halangan semak belukar serta onak tidak membuat saya menyerah. Maka gerimis yang
turun sejak dari pos satu benar-benar membuat saya frustasi. Pakai jaket tebal
dan ponco sama sekali tidak membantu. Karena gerimisnya sedingin es batu.
Membuat jari tangan kaku, dan pandangan
mata terbatas.
Walaupun
sudah berhati-hati, berkali-kali saya terjatuh. Ponco yang saya pakai
menyulitkan saya berjalan. Kalau terinjak ujung ponco. berat carrier akan membuat
saya terjengkang ke belakang. Saat harus merangkak, tak jarang ponco tersangkut ranting. Kembali
hal itu membuat saya terjerembab ke depan. Belum lagi berkali-kali kehilangan
keseimbangan dan terpeleset karena licin.
Jam
menunjukan pukul 13.45 saat tiba di pos dua. Makan siang yang sudah terlalu
terlambat. Tanpa dikomando yang membawa perlengkapan memasak mulai mengeluarkan
nesting, kompor, cairan parafin atau gas portable, membuat api, merebus air dan
mulai sibuk memasak.
Saya
butuh asupan karbohirat sebagai sumber energi.
Mie instant, sebuah pisang canvendis,
dan sepotong besar coklat tidak
cukup. Kelaparan membuat saya mulai berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat
lain. Mengemis sesuap nasi di sini dan dua suap di sana. Harus diakui,
nasinya kebanyakan kurang matang tapi rasanya tetap nikmat sekali makan di alam
terbuka.
“Kita
sudah berada di ketinggian 2105 mdpl, “ kata seseorang dari komunitas SABUKI sambil
memperlihatkan alat GPS. Gunung Kendang
memiliki ketinggian 2617mdpl, jadi perhitungan kasarnya, puncak Gunung Kendang
bisa dicapai dalam waktu kurang dari dua jam.
Diterjang Hujan Badai
Saya
mengira perjalanan menuju pos dua adalah yang terberat. Ternyata saya salah.
Hujan turun semakin deras sehingga kami memutuskan untuk segera melanjutkan
perjalanan menuju pos tiga. Di sana kami akan membuka tenda dan bermalam di
sana. Tidak ada tanda-tanda hujan akan berakhir. Dingin semakin menggigit.
Sekujur tubuh basah dan mulai menggigil. Tidak ada pilihan lain selain terus
melangkah.
Tanjakan
semakin sempit. Sebelah kanan semak belukar, sebelah kiri jurang menggangga
lebar. Dari kemiringan tebing, tumbuh beratus-ratus pohon Cantigi. Ujung Cantigi tumbuh sampai ke ujung jalur
pendakian. Saat melewati jalur tersebut serasa seperti pendekar silat sedang
latihan ilmu meringankan tubuh di atas pucuk pohon.
Ketika
kabut menyibak dan memperlihatkan isi lereng gunung. Saya kerap berhenti
sejenak untuk mengatur napas. Sekaligus menikmati keindahan gunung. Ada lembah
berwarna pekat. Kabut melayang seperti kapas. Diantara hijau dan merah daun
Cantigi, terdengar suara burung dan cericit suara serangga. Sungguh suatu pemandangan yang menakjubkan.
Indah sekaligus menakutkan. Maut kalau
sampai terjatuh ke dalam jurang.
Saya
tidak tahu sudah berapa lama berjalan. Dingin cukup menyiksa. Lelah membuat
saya ingin berhenti. Berkali-kali saya membatin,”Sebentar lagi sampai. Sebentar
lagi.” Tapi pos tiga tak kunjung sampai.
Orang
yang berada di depan saya sudah lama menghilang di kejauhan. Saya tercecer dari
rombongan. Untuk mengejar saya sudah kehabisan napas. Ketika menengok ke
belakang, tak ada seorang pun. Hanya ada keheningan hutan. Saya tidak tahu
apakah saya merupakan orang terakhir dari rombongan kami, atau masih
ada rombongan lain di belakang saya.
Puncak frustasi adalah saat jatuh terguling-guling
di sebuah tanjakan. Terlintas untuk berbaring saja di tanah. Berharap ada yang
lewat. Karena takut tersesat di hutan sendirian, saya memaksakan diri berdiri dan mulai merangkak.
Berusaha berpegangan pada akar, menyeret kaki selangkah demi selangkah ke atas.
Saya
hampir menangis ketika melihat sebuah bivak dari fly-sheet di ujung tikungan. Sudah
ada belasan orang berlindung dari hujan di dalam bivak. Ternyata saya berhasil
menyusul mereka. Sampai juga di pos tiga. Semangat saya langsung pulih
kembali.
Namun
kami tidak bisa berlama-lama di dalam
bivak. Sepuluh menit ambil arah kanan lurus ke atas maka kami akan tiba di
puncak Gunung Kendang. Tapi memaksakan diri ke puncak dalam keadaan cuaca buruk
adalah bunuh diri. Jadi kami mengambil jalan berlawanan. Kami harus segera
menuju kawah mati untuk mendirikan tenda. Atau kami akan kemalaman di hutan.
Kawah
mati menurut saya lebih mirip rawa. Tidak ada savanna dengan rumput
kering. Tidak ada lautan bunga Eldewieis. Hanya ada
hamparan tumbuhan air semanggi gunung yang tumbuh menutupi sebagian permukaan kawah
mati. Sisanya adalah genangan air terbuka.
Summit Attack
Ada
silang pendapat keesokan paginya. Sebagian ingin langsung turun gunung setelah
disiksa hujan badai dan kedinginan sepanjang malam. Yang lain berpendapat tidak sampai ke puncak, bukan mendaki gunung
namanya.
“Tinggal
10 menit saja, kok,” kata pemimpin rombongan dari Sabuki.
Akhirnya
disepakati untuk summit attack setelah sarapan besar. Semua logistik
dikeluarkan dan dimasak ramai-ramai. Sarapan bersama membawa keseruan
tesendiri. Semua makanan digelar memanjang di tanah dan semua makan bergilir
sambil jongkok.
Puncak Gunung Kendang masih tertutup oleh lebat
pepohonan sehingga sulit untuk melihat sekeliling. Hanya ada plat kayu
dengan tulisan Gunung Kendang-2617 mdpl sebagai tanda. Kami telah berhasil
sampai ke puncak. Hiking for a cause bersama Sabuki dalam rangka kampanye
penyelamatan Danau Ciharus berhasil. Mission accomplished!
#Save Ciharus
Danau
Ciharus dijuluki sebagai Ranukumbolo Jawa Barat. Indah? Sudah pasti. Tapi itu dulu! Tergolong sebagai cagar alam
inti Kamojang, seharusnya Danau Ciharus tidak boleh sembarang dimasuki,
kecuali dengan simaksi dengan tujuan
penelitian. Tapi di lapangan, setiap orang bebas masuk bahkan tanpa mengurus simaksi.
Banyak pegiat olahraga off-road memakai
motor trail melewati Danau Ciharus dan sekitarnya. Kegiatan tersebut menggerus
permukaan tanah. Sedimen dan material tanah kemudian turut mengalir masuk ke dalam danau
saat hujan. Hal itulah yang menjadi salah satu penyebab utama pendangkalan danau saat ini.
Warung
permanen dan bangunan liar bermunculan seiring dengan semakin banyaknya orang
berkunjung ke sana untuk berwisata alam. Mereka yang mengaku dirinya sebagai pecinta
alam, ironisnya justru menjadi penyumbang sampah non-organik terbesar di daerah
sekitarnya.
“Dulu
kawasan ini adalah habitat burung Elang Jawa,” kata Gustav Ali Khamenei, salah
satu penggagas komunitas Sabuki prihatin. Berangkat dari keprihatinannnya
tersebut dia kemudian menggalang kegiatan
‘hiking for a cause’ ke puncak
Gunung Kendang bersama berbagai
komunitas lainnya. Tagar #save Ciharus menjadi tag-line kampanye.
“Kami
sebagai individu tidak bisa berbuat banyak dengan kampanye ini. Hanya bisa
berteriak dan menciptakan riak kecil di berbagai media social. Tapi kalau kita
semua mau berteriak secara bersama-sama. Saya percaya suara kita akan cukup keras untuk sampai ke telinga. Riak
kecil yang kami buat akan menjadi gelombang tsunami. Harapan saya, saat itu semua
orang akan sadar dan menjadi lebih peduli terhadap kelangsungan alam.”
Sebelum
mengakhir kegiatan hiking, beliau juga sempat berpesan agar kita semua memegang
teguh etika untuk ‘Take nothing but pictusre. Leave nothing but foot print. Kill nothing
but time.
jalurnya lewat desa apa kak ini?
ReplyDeleteDesa Neglawangi, kecamatan Kertasari, Pangalengan
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete