Siap-siap! Satu…Dua…Tiga. Kret!!! Bersamaan
dengan terdengar suara tali dikerek, seat harness yang dipasang di pinggang dan
pangkal paha saya terasa mulai mengencang. Dengan berpegangan erat pada tali
karmantel tubuh saya menggantung di pinggir mulut gua. Kedua kaki saya melayang-layang di udara.
Tepat di bawah kaki saya, gua vertical dengan kedalaman sekitar 20 meter siap
menelan saya bulat-bulat. Tiba-tiba saya merasa diri saya seolah-olah berubah
menjadi sebuah timba kayu yang dikerek turun untuk menimbah air di dasar sumur
tua.
Tubuh saya meluncur tanpa halangan ke
dalam gua. Mata saya buta karena hanya melihat gelap. Kelembaban udara
menyergap tubuh dengan aroma gua menusuk hidung. Suara dari atas perlahan-lahan menjadi senyap.
Saya tidak tahu berapa lama saya harus menggantung sampai pada suatu saat sesuatu meraih kaki saya dari
bawah.
Saya merasa lega ketika menyadari
sesuatu itu adalah Pak Wa, pemandu yang akan
memimpin pertualangan kami menyelusuri isi perut bumi Gua
Buniayu-Sukabumi selama kurang lebih empat jam.
Terletak di Desa Kerta Angsana,
kecamatan Nyalindung, Sukabumi, gua ini oleh penduduk sekitar disebut sebagai
Gua Siluman. Namun sejak berada dibawah pengawasan Perum Perhutani, nama gua
tersebut diganti menjadi Gua Buniayu yang berarti kecantikan yang tersembunyi
dalam bahasa Sunda. Sampai saat ini sudah beberapa gua yang ada disekitar kawasan tersebut berhasil dipetakan, diantaranya
Gua Cipicung ( 3.300 m ), Gua Bibijilan ( 717 m ), Gua Adni ( 635 m ), Gua
Nyangkut ( 390 m ), Kubang Lanang ( 302 m ) dan beberapa gua lainnya dengan
panjang yang lebih pendek dan bervariasi.
Namun untuk kegiatan susur gua (
caving ), Gua Siluman ini dipilih, karena menawarkan keindahan alami yang lebih lengkap dengan stalaktit
berbentuk tombak dengan stalakmit yang tepat berada di bawahnya, flow stone
berbentuk aliran air terjun beku, coloumn pilar, drapery berbentuk seperti ikan
hiu, gourdam berbentuk kubah dengan permukaan bertekstur seperti petakan sawah,
canopy, serta berbagai ornamen gua yang lebih lengkap dibandingkan gua-gua
lainnya. Selain itu jalur trekking cukup
menantang adrenalin namun masih tetap aman untuk pemula.
Setelah semua peserta berhasil
mencapai dasar gua vertical dengan teknik SRT ( single rope technigue ),
petualangan mendebarkan menyelusuri isi perut bumi pun segera dimulai. Pemandu
berjalan di depan dengan lampu karbit sebagai sumber cahaya utama, di belakang,
kami berjalan tertatih-tatih menaiki bebatuan besar dan kecil, menurun celah
sempit, dan sesekali merangkak menerobos lubang.
Kejutan berikutnya : ada aliran
sungai di dalam gua. Menurut penuturan Pak Wa, aliran sungai ini akan bertambah
tinggi seiringan dengan bertambahnya debit air pada saat musim hujan.
Kadang-kadang sampai menutupi seluruh lorong gua. Kalau ada aliran sungai di
bawah lantai gua sudah biasa, maka ada curug berupa aliran air dari celah atas
cukup membuat saya takjud.
Beberapa kali Pak Wa berhenti untuk
menjelaskan proses terbentuknya gourdam misalnya, atau menunjukkan beberapa
stalakmit berbentuk aneh. Salah satunya, ada yang berbentuk kelamin lelaki. Setelah
berjalan sekitar dua jam lebih, tiba-tiba Pak Wa meminta kami semua duduk dan
mematikan lampu head-lamp.
“Sekarang kita berada di lokasi zona
gelap abadi. Zona dimana tidak ada seberkas pun intensitas cahaya yang terdapat
di dalamnya, jelasnya lebih lanjut. “Mari kita duduk diam sejenak dan
membiarkan indera kita bekerja dan merasakan sensasi lain berada di dunia
kegelapan.”
Sumber cahaya terakhir, carbide lamp di helm pun dipadamkan meninggalkan
bunyi mendesis yang aneh. Antara mata terpejam dengan mata terbuka, saya tidak
bisa membedakannya. Gelap membutakan. Hanya ada satu warna yaitu hitam pekat. Saya
merinding saat merasakan berbagai sensasi indera di dalam zona kegelapan abadi.
Segala sensasi terasa lebih berat, lebih seram, lebih mencekik. Imaginasi kita
bergerak liar dengan berbagai ilusi abstrak yang menakutkan.
Melanjutkan perjalanan menuju zona
lumpur, jalur terakhir sekaligus jalur yang paling sulit. Kedalaman lumpur pada
bagian tertentu cuma beberapa sentimeter tapi pada bagian lain bisa mencapai
betis. Berjalan di jalur lumpur perlu teknik tertentu karena pijakan terasa
lebih berat dan tak jarang harus jatuh bangun. Rute ini dapat ditempuh kurang
dari satu jam. Perjalanan berakhir saat kita bertemu dengan sebuah tangga bambu
untuk naik keluar gua. Ada rasa lega yang luar biasa saat berhasil mencapai
mulut gua dan kembali melihat sinar matahari. Begitulah kira-kira rasanya ditelan bumi selama empat jam di dalam
Gua Siluman, guman saya dalam hati.
0 Response to "Sensasi Ditelan Perut Bumi Gua Siluman "
Post a Comment