Setengah Sore Satu Malam di Stadhuisplein

kota tua jakarta
Museum Sejarah Jakarta

Balai kota 'Stadhuis' demikianlah namanya saat itu, sudah menjadi tempat favorit anak-anak muda kota Batavia untuk berkumpul setiap sore menjelang malam minggu.

Saat itu para noni Belanda akan memakai gaun terbaik mereka. Gaun panjang mengembang di bagian bawah serta korset ketat untuk menonjolkan bagian pinggul mereka. Sebagian dari mereka akan mengelar tikar, minum teh sambil menikmati roti bluder atau roti ganjel rel manis gula aren. 

Anak gadis dengan topi lebar warna-warni mengowes onthel mengelilingi stadhuisplein. Yang pemuda akan berlari mengejar di belakang. Sedangkan orangtua mereka akan memperhatikan mereka dari jendela restoran sambil membahas nilai saham perkebunan dengan para tuan tanah.

Di tengah-tengah lapangan tersebut terdapat sebuah air mancur yang merupakan sumber air warga setempat. Sekelompok anak kecil bermain gobag-sodor di sana. Permainan akan berakhir saat orang tua mereka memanggil mereka untuk makan malam.

Demikianlah suasana Stadhuisplein saat itu setiap malam minggu menurut cerita nenek-nenek.
kota tua jakarta
(c)UncleSeronok.blogspot.com






Saat ini balai kota 'stadhuis' telah berubah menjadi museum sejarah Jakarta. Lapangan di depannya berganti nama menjadi Taman Fatahilah. Ada banyak hal yang sudah berubah. Bangunan bersejarah tinggal sepotong-sepotong. Namun  ada yang tetap sama. Lokasi ini tetap menjadi tempat kumpul favorit anak muda Jakarta. Terutama saat malam minggu, Taman Fatahilah berubah bak pasar malam 24 jam. 

Terpesona oleh cerita suasana stadhuis pada jaman penjajahan dulu, saya sengaja meluangkan waktu setengah sore satu malam untuk bergadang di Stadhuisplein.

Dari Bandung saya tiba di Stasiun Kota sekitar jam dua siang. Cuaca saat itu sedang bersahabat. Tidak terlalu panas. Sesekali terasa ada hembusan angin hangat. Tidak ada tanda-tanda akan hujan sehingga sempurna untuk bergadang.

Dari stasiun kota Beos cukup jalan kaki lurus ke depan menelusuri jalan Lada, bangunan di sebelah kiri adalah sudut Museum Jakarta. Jaraknya cukup dekat. Saking dekatnya sampai Uut Pertamasari terpanggil untuk mempopulerkan lagu dangdut , "cukup lima langkah." 
"Fatahilah memang dekat lima langkah dari Beos.Tak perlu naik ojek, bajaj juga ngak usah. "
Dibandingkan dengan alun-alun Bandung, Taman Fatahillah terkesan lebih lengkap karena keempat sudut dikepung oleh bangunan bersejarah. Kalau ambil patokan dari Museum Sejarah Jakarta, di depannya ada bangunan kuno kantor pos dan Cafe Batavia. Dari sebelah kanan ada Museum keramik. Sebelah kiri ada museum wayang. Di belakang ada Museum bank Indonesia dan Museum Bank Mandiri.

Hebatnya lagi, semua museum tersebut dekat-dekat. Tetanggaan pula.  Cukup lima langkah, kata Uut Permatasari juga.
kota tua jakarta





Karena tiba di Taman Fatahilah sudah sore, saya cuma sempat mengunjungi dua museum. Pilihan pertama, Museum Sejarah Jakarta. Tiket Rp 5000 per orang. Dapat sepasang sandal jepit cantik, pakai tas dari bahan ramah lingkungan. Gratis pula. Tapi sayang, saat mau keluar sandalnya diminta lagi sama petugasnya.

Arsitektur bangunan museum bergaya barok klasik dari abad ke-17, memiliki 3 lantai dengan ciri khas kusen dan jendela dari kayu jati dengan warna dominan hijau tua.
Alur menjelajah museum dimulai dari lantai satu yang kebanyakan berisi replika-replika prasasti, replika perahu,maket gedung dan berbagai perkakas lainnya.

Lantai dua berisi perabot rumah tangga seperti lemari, meja makan, dan kursi yang dipakai saat jaman penjajahan Belanda. Kalau sudah berada di sini, jangan lupa untuk cek bagian atap utama gedung. Ada petunjuk arah mata angin. Lantai ke tiga ditutup untuk umum.

Museum pilihan ke dua adalah Museum Bank Mandiri. Museum keramik dan Museum wayang tutup jam 3 sore, sedangkan Museum Bank Mandiri tutup jam 4 sore. Jadi masih ada waktu sekitar sejam kurang untuk menjelajah isi museum. Tiket juga Rp 5000. Tapi kali ini tidak dipinjami sandal.

Koleksi museum terdiri dari berbagai peralatan operasional perbankan jaman dulu.  Ada brankas, mesin hitung uang, mesin cetak, surat berharga, mata uang dan alat press bendel. Dari yang berukuran kecil sampai yang berukuran raksasa. 
 
Menurut saya semua koleksi museum Bank Mandiri tersebut ajaib-ajaib semua. Ajaib, karena sulit untuk membayangkan orang perbankan pernah menggunakan  peralatan kuno seperti itu. Pasti sengsara sekali dibandingkan dengan saat ini.
kota tua jakarta
Bergadang di Stadhuis van Batavia
Kata Mbok Ueneh, "Sagalana aya di dieu." Dan dia ngak bohong.

Menjelang magrib, rombongan demi rombongan manusia mulai memadati Taman Fatahilah. Yang sudah bekeluarga bawa anak isteri, yang muda gandeng pacar, yang jomblo datang berkelompok. PKL dorong dagangan, seniman jalanan siap dengan  berbagai alat perlengkapan. Semua tanpa kecuali ingin menikmati malam panjang di sini.
 
Bukan cuma ada manusia, makhluk astral seperti kuntilanak, dracula, zombie china juga bergentayangan di sini.  Selain itu banyak maskot karakter TV kartun mendadak kejar tayang di taman Fatahilah.

Ada Naruto dengan rambut seperti tanduk. Ada Marsha tanpa ditemani Sang Beruang. Ada Upin dan Ipin yang kemana-mana selalu berdua. Ada juga tele-tubbies yang mengajak berpelukan. Dan tentu saja ada Ondel-Ondel yang gemuk-gemuk.

Ada satu persamaan makhluk astral dengan para karakter kartun. Semua bawa ember kecil berisi lembaran uang seribuan dan recehan logam. Rupanya mereka sedang mencari penghasilan tambahan.

Ini adalah saatnya para seniman jalanan beradu kreatif mencari rupiah. Banyak yang berdandan ala lady gaga. Jinjing kotak karoake dan joget-joget banci. Banyak juga yang tampil apa adanya. Alat musik sederhana dan suara juga apa adanya saja. 

Tapi ada juga yang  tampil kreatif seperti Pak Usman dari daerah Angke. Pak Usman, duda anak dua, tampil memikat dengan boneka marionette seram yang lincah berjoget dangdut.  Gerakannya lucu dan banyak mengundang tawa anak-anak yang menonton.

Atau seperti Anisa, mahasiswi salah satu perguruan tinggi swasta ini dandan jadi kuntilanak dan  gentayangan di atas meriam. Sesekali dia tampak menimbang boneka dan tetiba terdengar suara jeritan suara bayi menangis pilu. Aksi tersebut memancing jeritan tertahan dari sebagian penonton perempuan.

Takut tapi tak membuat urung sebagian penonton mengajak kuntilanak berphoto. Tentu dengan tarif serelanya.
Malam itu ada kegiatan dzikir massal dan massa terkonsentrasi di depan pintu utama gedung Museum Sejarah Jakarta. Acara dzikir dipimpin oleh dua orang yang berpakaian seperti Arab, berbicara seperti orang Arab, bahkan saat memasuki mimbar juga seperti orang Arab. Dua orang yang kearab-araban bergiliran memimpin acara tersebut sampai sekitar jam 10 malam.
Membosankan? Tentu tidak!

Banyak hal yang bisa dilakukan. Makan malam di cafe Batavia bisa jadi pilihan sambil nenikmati suasana malam. Atau coba icip-icip street food yang bertebaran di sana. Kerak telur, nasi uduk, nasi pecal, jagung bakar, takoyaki, es potong atau bandrek. Semua  disajikan ala lesehan.

Sebenarnya tadi sore saya sudah keliling naik onthel, tapi saya ingin memperoleh suasana yang berbeda pada saat malam maka saya kembali menelusuri jalan kecil menuju kali besar. Tujuan saya adalah jembatan kota intan. Tapi kali ini dengan jalan kaki.

Firasat saya benar.  Jembatan Kota Intan saat sore hari tidak menarik sekali. Jelek. Tidak ada yang istimewah. Kali di bawahnya hitam aroma sampah. Tapi saat malam, gelap menyembunyikan sisi jeleknya, lampu sorot mempertegas fitur jembatan dan ketika dipoto hasilnya jadi luar biasa. Seketika Jembatan Kota Intan jadi berbeda sama sekali.
kota tua jakarta




kota tua jakarta
Saat kembali ke Taman Fatahilah,  malam sudah semakin larut. Acara dzikir massal sudah selesai. Orang seperti Arab sudah tidak tampak. Hanya ada beberapa orang tampak sedang membereskan bekas mimbar.

Sebagian orang sudah pulang ke rumah masing-masing. Sepertinya ini saatnya saya juga harus pulang ke Bandung juga. Tapi, tunggu dulu. Memang banyak orang yang bergegas pulang. Tapi sekelompok kecil orang juga masih tetap berdatangan.

Kalau tadi massa terkonsentrasi di depan pintu utama Museum Sejarah Jakarta. Kini massa terpecah menjadi tiga kelompok besar. Satu di samping bekas mimbar acara dzikir massal. Satu lagi ada di depan Museum Wayang dan satunya lagi terpusat di depan Museum Keramik.

Rupanya malam belum berakhir di Taman Fatahilah. Atau baru saja dimulai bagi sebagian orang yang menunggu acara konser musik oleh tiga kelompok band berbeda.

Dan baru benar-benar berakhir saat jam menunjukan pukul 03.30. Dengan demikian bisa dikatakan saya menghabiskan setengah sore satu malam atau 14 jam di stadhuisplein bersama semangat dari jaman Batavia yang tetap mengelora sampai sekarang.

Suatu pengalaman bergadang yang cukup berkesan. Satu-satunya yang menjadi ganjalan saya adalah masalah arus bawah. Untuk ukuran Taman Fatahilah tersedianya 2 unit toilet portable cukup menyiksa. Mau kencing harus antri panjang. Sampai ngilu-ngilu nahan kencing.

note : tulisan ini juga dimuat di harian Pikiran Rakyat 22 Maret 20015 http://epaper.pikiran-rakyat.com/node/3326#page/6





0 Response to "Setengah Sore Satu Malam di Stadhuisplein "

Post a Comment