Kampung Manteos punya Cerita

Kampung Manteos, Teras Cikapondung
Kampung Manteos, Bandung
Membuat serangkaian photo bercerita ternyata sama sulitnya dengan menulis sebuah cerita. 

Harus ada kepala, badan, tentu saja harus ada ekor.  Khusus travel photography, kepala itu adalah opening shot yang harus bisa bikin kita berteriak  'wow'. Kemudian tertarik untuk mengeksplor  tempat yang kita photo tersebut. Badan adalah nyawa dari tempat yang kita kunjungi. Bisa berupa photo-photo orang lokal dengan kegiatan sehari-hari. Sedangkan ekor berfungsi sebagai buah ceri merah pada topping sebuah kue.  Buah ceri itu adalah photo-photo detail lokasi 'wow-keren' tadi.

Itulah kira-kira teori membuat photo bercerita tentang serangkaian photo perjalanan dalam satu paragraf. Gampang 'kan?
kampung Mantoes Bandung, Cikapundung, Teras Cikapundung
salah satu sudut Kampung Manteos
Ini kali pertama saya bertekad untuk serius membuat photo perjalanan dalam bentuk photo bercerita. Bukan lagi  sekedar pamer sejumlah photo wow-keren tanpa nyawa lagi. Tapi begitulah hidup. Kenyataan tidak selalu semanis madu. Praktek tidak selalu segampang membaca teori.

Saya mengunjungi Kampung Manteos selama 4 kali setiap hari Sabtu secara berturut-turut bulan ini. Dan cuma mendapat satu shot yang saya sukai sebagai opening shot seperti photo di atas. Tumpukan rumah-rumah di Kampung Manteos membuat sebagian orang menyamakannya dengan perkampungan di Rio de Jeneiro.  

Menurut saya pribadi, perbandingan itu terasa terlalu sulit dijangkau. Pertama, saya belum pernah ke perkampungan di Rio de Jeneiro. Jadi tidak tahu persis.  Kedua, tumpukan rumah di Kampung Manteos menurut saya lebih menyerupai potongan mozaik permainan jigsaw yang membentuk pola abstrak.
Kampung Manteos, Kampung Wisata, Teras Cikapundung
Jembatan penghubung Kampung Manteos Utara dan Selatan
Kampung Manteos ada di Mana?

Selain disebut sebagai  perkampungan Rio de Jeneiro-nya kota Bandung, Kampung Manteos juga disebut sebagai kampung seribu tangga. Hal ini mungkin disebabkan karena banyaknya anak tangga batu sempit yang menghubungkan rumah yang satu dengan rumah lainnya.

Kampung Wisata Manteos berada di kelurahan Dago, kecamatan Coblong, Bandung. Tepatnya berada di jalan Siliwangi. Tahu Babakan Siliwangi atau Baksil? Nah, kalau dari arah kebun binatang menuju jalan Cihampelas, Kampung Manteos ada di seberangnya.

Tahu Teras Cikapundung atau Taman BBWS ? Nah, Kampung Manteos ada tepat di sana. Parkir saja kendaraan di sana. Tiket parkir saat berkunjung ke sana - Rp 3000.  Masuk kebagian dalam lewat jembatan merah dan naik terus ke atas melewati beberapa warung makan.
mural, manteos, bbws, teras cikapundung
salah satu seni mural di  Kampung Manteos
Pilihan kedua menuju kampung wisata Manteos : parkir kendaraan di BBWS terus keluar. Beberapa meter di samping kanan Taman Teras Cikapundung terdapat sebuah gapura dengan jalan selebar sekitar satu meter dengan blok batu berwarna coklat muda.

Itulah satu-satunya jalan sepanjang kampung. Jalan itu membelah perkampungan tersebut menjadi dua bagian : kampung Manteos Selatan dan Utara. Saya menelusuri jalan tersebut pada kesempatan kedua di sana. Jalan tersebut membawa saya sampai ke hulu sungai dengan pintu air  berwarna biru di akhir perjalanan.
kampung wisata, kampung seribu tangga
salah satu sudut kampung
Kali ketiga - saya mencoba menelusuri lorong -lorong kecil dengan menaiki anak tangga. Suer! Sampai saat ini saya tidak bisa menebak dengan pasti kejutan apa yang akan saya temui di setiap ujung lorong anak tangga. Saya tidak tahu ke mana anak tangga itu akan berakhir. Atau ke mana anak tangga itu akan membawa saya. Rasanya seperti memasuki lorong labirin yang penuh misteri yang harus dipecahkan.

Kejutan pertama datang dari 3 ekor kucing yang sedang berjemur di atap seng. Tapi atapnya  tepat di bawah kaki saya. Lalu tiba-tiba saya jatuh. Nah loh kok bisa? Ya, bisalah. Saya jatuh karena terpeleset. Licin. Jadi bukan salah kucing.

Saat lain ujung lorong membawa saya saya muncul di jalan  Ciumbuleuit. Putar arah lalu saya mentok di Apartemen Ciumbuleuit. Belok kiri ke bawah  ada di kuburan warga menghadang. Krek...krek..sunyi. Hanya ada bunyi gesekan sayap tonggeret.
teras cikapundung, kampung wisata
yang ini jemuran asli -- bukan salah satu karya seni mural
Kampung Manteos Punya Cerita
Kali keempat. Sekaligus yang terakhir bagi saya di sana.  

"Anak dari ITB?" Sapa seorang ibu sambil merengkuh dan menuntun saya menuju salah satu sudut rumah. Saya barusan menuruni tangga dan menyeberangi jembatan menuju Manteos Selatan. Ibu itu berada di ujung jembatan, kelihatannya memang sedang menunggu seseorang. 

"Bukan. Saya hanya seorang pengelana miskin yang kebetulan tersesat sampai di sini", jawab saya dalam benak saya. Saya binggung. Ibu ini ramahnya keterlaluan. Alarm insting saya berbunyi keras. Jangan digubris! Cepat pergi.

Tapi ibu itu menahan langkah saya.

"Kebetulan Ibu punya usaha di sana. Mainlah ke sana."  Kata ibu itu saat saya menjawab di mana saya tinggal. Selama ibu bercerita tentang hal ini dan hal itu, ibu tidak pernah melepaskan  rengkuhannya. Sebuah aksi intimasi  yang membuat saya jengah. Sumpah! Saya tidak terbiasa menerima keramahan dari orang asing  seperti itu. Saya  pasti sudah ngompol tanpa sadar kalau sampai ibu itu kemudian merebahkan kepala di bahuku.

Dari sudut mata saya melihat ada seorang ibu yang lainnya.  Hati saya berteriak. Jangan ada ibu ramah lagi. Please...! Sungguh. Ngak mau saya. Satu saja sudah bikin ngeri apalagi dua. Kalau saya sedang mimpi. Simsalabim. Bangunlah! Tapi Saya tidak sedang mimpi. Sial!

Ibu kedua adalah ibu warung yang sedang membuat gorengan sambil menahan senyum. Ibu itu sibuk membolak-balik bala-bala. Atau sebenarnya sedang pura-pura sibuk. Maaf, saya jadi curiga dan berprasangka buruk..

"Makan dulu, yuk." Tawar ibu yang kini saya namakan sebagai Ibu yang ramahnya keterlaluan. Saya tidak tahu harus berbuat apa selain menolak. Saya harus segera pergi, kata saya tak berani melihat muka ibu. Termasuk berdosakah menolak keramahan yang membuat kita tidak nyaman?

Akhirnya berhasil menjauh dari ibu. Dari kejauhan saya masih mendengar ibu bilang,"Mau survey,ya? Hati-hati." Sungguh. saya tidak mengerti maksudnya. Saya pura-pura tidak mendengar dan melangkah buru-buru menjauh. 

Saya merasa sungguh lega. Bisa bebas. Tapi sungguh malang, hal itu tidak berlangsung lama. Saat mau pulang, ternyata Ibu masih ada di sana, menunggu, di jembatan.

"Rumah ibu kena longsor kemarin." Beritahu ibu sambil menunjuk bagian pinggir sungai yang tergerus arus.  Mungkin kemarin yang dimaksud adalah waktu yang sudah lalu.  Saya tidak melihat ada bekas rumah atau sesuatu yang mendukung cerita ibu.

"Main ke rumah Ibu, yuk." Nah loh, tadi bukannya ibu bilang rumahnya kena longsor? Lalu rumah yang mana lagi? Jadi serem 'kan?

Saya harus pulang. Takut kehujanan, kata saya sambil cepat-cepat lewat. Melihat ibu dah-dah-an dari seberang tanpa sadar  saya ikut dah-dah-an. 
cikapundung, kampung wisata
kampung Manteos
note : Catatan akhir Kampung Manteos Punya Cerita
Jika kebetulan anda sedang berada si kampung Manteos dan bertemu dengan ibu ramah yang keterlaluan -- tolong sampaikan maaf saya. Dari lubuk hati terdalam saya berdoa semoga ibu sehat selalu.

0 Response to "Kampung Manteos punya Cerita"

Post a Comment